Wednesday 27 January 2016

CITA-CITA MEMENUHI SEBAGIAN MEMORI DI OTAKKU

 “Harapan bukanlah sebuah rangkaian kata biasa, tetapi itu merupakan awal dari sebuah kesuksesan.” Kalimat tersebut merupakan sebuah inspirasi yang selalu ada dibenakku. Tiada henti bagiku untuk selalu memotivasikan diri ini dengan berbagai macam seuntaian kalimat semangat. Menurutku, memotivasikan diri sendiri itu sangatlah penting. Hal itu berguna untuk membangkitkan jiwa yang haus akan sebuah harapan.

Namaku senja fatmala, teman-temanku sering memanggilku senja. Kini aku telah duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA), berseragam putih abu-abu dan berada di suasana tepat dimana semua para pelajar menyebut bahwa SMA ialah masa indah semua remaja. Bagi mereka, mungkin pandangan tentang SMA sangatlah indah. Tetapi tidak bagiku. Aku tidak merasakan pandangan itu, sebab memilih dan memutuskan selalu ada ketika aku duduk di bangku SMA ini.

Dulu, ketika aku berada dibangku Sekolah Dasar (SD) ataupun dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku masih bisa merasakan berbagai macam permainan, merasakan indahnya suasana bersantai, bahkan belum ada dibenakku untuk memilih jurusan dan universitas yang ingin aku jumpai. Akan tetapi, suasana dulu dengan sekarang berbanding 360 derajat.

Hari demi hari berlalu dan kini aku makin mengenal dengan suasana dimana para remaja menyebut bahwa masa SMA sangatlah indah. Sudah enam bulan lamanya, aku menginjakkan kakiku di SMA ini. SMA Terpadu inilah yang aku pilih untuk membantuku mewujudkan impian yang baru buat diriku sendiri. Banyak sekali sekolah-sekolah di Tangerang yang berkualitas bagus. Akan tetapi, aku percaya bahwa SMA  Terpadu inilah yang dapat membantuku untuk menggapai sebuah cita-cita yang gemilang.

Aku mempunyai cita-cita sebagai seorang perempuan yang memiliki gelar sebagai seorang Sarjana dibidang Psikolog (S2 Psikolog). Akan tetapi, sesosok malaikat yang telah melahirkanku ke dunia ini tidak menyetujui cita-cita yang ingin ku capai. “Mama” ialah sesosok malaikat yang aku maksudkan.

“Mau jadi apa dirimu kelak jika memilih psikolog sebagai impian terbesarmu?” ketus Mama ketika aku memberitahu impianku.

“Sejujurnya, belum ada dipikiranku untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan Mama itu. Entah mengapa, psikologlah yang aku inginkan untuk membantuku memulai sebuah impian.” jawabku dalam hati.

Pertanyaan Mama telah memenuhi sebagian memori di otakku. Merenung, bertanya kepada diri sendiri, dan terpaku diam itulah yang aku bisa untuk mengapresiasikan diri tentang pertanyaan Mama itu. Mama menganggap bahwa seorang psikolog hanya bisa berada disekitar orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental saja.

“Seorang psikolog tidak hanya bekerja disekitar orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental saja. Seorang psikolog memiliki lapangan pekerjaan yang luas dan bisa menghasilkan uang yang banyak. Contohnya seperti menjadi seorang HRD di perusahaan. Akan tetapi dengan catatan, kamu bisa membawa namamu di berbagai perusahaan ternama.” jawab Ibu yolanda selaku guru di bidang konseling.

Makin bingung saja diri ini dengan keputusan yang aku buat itu. Akan tetapi, ucapan dari seorang Ibu itu merupakan pandangan awal yang telah diprediksi. Walaupun Mama hanya tahu, bahwa psikolog itu hanya bekerja disekitar orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental saja, tanpa melihat pekerjaan lain yang dikuasai oleh seorang psikolog. Akhirnya Mama tidak menyetujui aku untuk menjadi seorang Psikolog.

Akibat dari pandangan Mama itu, kini diriku memutuskan untuk berpindah impian menjadi pengacara ternama dan terkenal. Aku memilih menjadi seorang pengacara ternama dan terkenal itu berawal dari sebuah permasalahan di dalam keluarga. Dimana hanya akulah yang dapat menyelesaikannya. Selain itu, sesosok pria yang telah menjadi kepala keluarga itulah yang membuat aku tambah yakin untuk memulai impian menjadi seorang pengacara. “Papa” sesosok pria yang aku maksudkan.

“Anak Papa ini pintar sekali kalau berbicara.” puji Papa ketika aku telah selesai mencari jalan keluar dari permasalahan itu.

Aku teringat dengan seorang pria bernama Hotman Paris Hutapea. Beliau adalah seorang pengacara terkenal yang sangat aku idolakan. Beliau selalu ada di depan layar televisi yang dikenal sebagai pengacara handal dan memiliki banyak uang itulah yang membuat aku semakin bersemangat untuk menjadi seorang pengacara.

Keesokkan harinya, aku bercerita kepada Mama tentang cita-cita baruku menjadi seorang pengacara. Mama setuju dengan cita-cita kedua yang aku impikan itu. Akan tetapi, lain halnya ketika aku menuju sebuah tempat dimana aku dan sahabatku yang bernama agus mengikuti bimbingan belajar di Einstein Collage, aku bercerita tentang cita-cita baruku kepadanya.

“Kamu yakin ingin menjadi seorang pengacara nja?” tanya agus ketika aku selesai bercerita.

“Yakin gus!” jawabku penuh dengan keyakinan.

“Aku punya saudara yang sudah lulus sarjana menjadi seorang pengacara. Akan tetapi, sampai sekarang ini beliau belum juga mendapatkan pekerjaan dan seringku dengar juga bahwa orang yang lulus sarjana menjadi seorang pengacara itu, sebagian besar ialah pengangguran.” kata agus dengan serius.

Informasi yang diberikan oleh sahabatku itu menimbulkan kebimbangan yang membuat pikiranku sangat kacau. Tanpa berfikir ulang, aku pergi menuju salah satu ruangan yang dekat dengan aula SMA Terpadu. Ruangan tersebut dinamakan sebagai ruangan BP. Ya, aku kembali berkonsultasi dengan Ibu yolanda. Aku berkonsultasi kepada beliau tentang impianku menjadi seorang pengacara.

“Kamu tidak salah memilih impian menjadi seorang pengacara. Akan tetapi, persaingan kerja seorang pengacara itu sangatlah besar. Kamu harus pintar dalam bersaing di dunia pengacara, karena tidak banyak pengacara yang bernasib sama seperti Hotman Paris Hutapea itu.” kata Ibu yolanda ketika aku berkonsultasi tentang impianku itu.

Inti dari nasihat Ibu yolanda itu sama seperti yang dikatakan oleh Agus, bahwa tidaklah sedikit orang pengangguran yang mempunyai gelar menjadi seorang pengacara. Sehingga hal itu membuat diriku kembali berfikir tentang cita-cita yang akan membawaku ke dunia masa depan. Pekerjaan sebagai Kedokteran, Kebidanan, Akutansi, Manajemen Perkantoran, Informasi dan Teknologi (IT), Tehnik Sipil, dan Tehnik Industri itu merupakan salah satu pekerjaan yang banyak diminati dan dibutuhkan oleh dunia kerja di masa depan. Akan tetapi, tidak ada profesi yang membuat aku tertarik untuk menjadi seperti yang disebutkan oleh Ibu yolanda

Keesokkan harinya, ketika aku sedang reunian bersama teman-teman SD, salah satu temanku bernama Nila bertanya tentang pelajaran yang aku sukai di SMA ini. Tanpa berfikir panjang, aku menjawab bahwa aku suka berhitung, maka  matematikalah yang aku tunjuk sebagai salah satu pelajaran yang aku sukai.

Kemudian temanku bernama Roni berkata, “Ingin menjadi guru dong kamu senja?”

Selesai reunian, akupun bergegas pulang. Ketika sampai di rumah, tiba-tiba pertanyaan Roni itu muncul dipikiranku. Aku pun akhirnya memikirkan pertanyaan yang membuatku ingin memulai cita-cita yang tidak banyak orang minati.

“Tidak ada salahnya jika aku menjadi guru matematika, toh nanti juga hidupku di masa depan banyak di dalam urusan keluarga yang aku bangun bersama pria yang kelak akan menjadi suamiku.” kataku dalam hati.

Beberapa menit kemudian, aku menuju ruang televisi. Di ruangan tersebut, ada Mama dan Papa yang sedang menghabiskan waktu santainya dengan menonton salah satu acara yang humoris. Tiba-tiba Mama bertanya tentang kehadiranku yang membuat mereka kaget.

“Ada apa nak? Kenapa dirimu belum tidur?” tanya Mama sambil menyuruhku duduk disampingnya.

“Ma, Pa, senja ingin tanya sesuatu. Apakah senja boleh memilih cita-cita menjadi seorang guru matematika?” tanya aku dengan nada pelan.

“Loh kenapa kamu tiba-tiba ingin menjadi guru matematika? Bukankah waktu itu, kamu ingin menjadi seorang pengacara terkenal?” tanya Mama penuh rasa heran.

“Iya, tapi senja sudah tidak berminat untuk menjadi seorang pengacara. Sebab banyak informasi yang senja dapatkan tentang pengacara, Ma. Salah satunya banyak pengangguran di luar sana yang memiliki gelar sebagai seorang pengacara.” kataku menjelaskan.

Berbagai kesimpulan pun aku kumpulkan untuk memantapkan tujuanku menghadapi masa depan. Hari demi hari telah aku lewati dan tibalah masa-masa dimana para siswa menunggu hasil dari jerih payah mereka selama tiga tahun lamanya belajar. Masa itu ialah masa kelulusan.

Berbagai universitas ternama telah menjadi pilihan dari jalan hidup teman-temanku. Tidak jauh berbeda dengan diriku. Aku pun akhirnya telah menentukan tujuan hidupku dengan berkuliah di Universitas Indonesia mengambil Fakultas Matematika.